Apa kabar, teman-teman seperjuangan? Semoga harimu hari ini lebih baik dari sekadar bertahan hidup dengan kopi saset dan mie instan, ya.
Tulisan ini saya buat di jam 3 pagi, sebuah jam “kramat” bagi kita, kaum mahasiswi yang sedang dikejar deadline. Di jam-jam seperti ini, biasanya keheningan kamar kos terasa begitu mencekam. Hanya ada suara detak jam dinding dan suara keyboard laptop yang kita paksa bekerja lembur.
Kita sering bicara soal IPK, soal organisasi, soal prestasi. Tapi jarang sekali kita bicara jujur soal hal-hal kecil yang diam-diam menggerogoti kewarasan kita. Kita diajarkan untuk menjadi perempuan tangguh, “Wonder Woman” kampus yang bisa rapat BEM sampai sore, mengerjakan tugas sampai pagi, dan tetap tampil flawless saat presentasi di kelas jam 7 pagi.
Tapi, mari akui satu hal: sekuat-kuatnya kita, ada momen di mana pertahanan kita runtuh hanya karena hal sepele. Salah satunya? Drama urusan cetak-mencetak.
Pernah tidak, kamu sudah merasa lega luar biasa karena Bab 4 skripsimu akhirnya selesai? Rasanya seperti baru saja lari maraton. Kamu tinggal mencetaknya, menjilidnya rapi, dan membawanya ke dosen pembimbing besok pagi. Kamu membayangkan senyum lega dan tidur siang yang nyenyak setelah ini.
Namun, realitas sering kali tidak seindah ekspektasi. Saat tombol “Print” ditekan, printer tua di sudut kamar malah berulah. Kertas macet (paper jam), tinta hitam yang tiba-tiba bergaris, atau cartridge yang mendadak tidak terdeteksi.
Di detik itu, rasanya bukan cuma kertas yang kusut, tapi hati kita juga. Air mata rasanya gampang sekali jatuh. Bukan karena kita cengeng, tapi karena kita lelah. Kita merasa dikhianati oleh alat yang seharusnya membantu kita.
Ini adalah “biaya tersembunyi” dari kehidupan kuliah yang sering luput dari perhatian. Kita sering meremehkan pentingnya alat pendukung yang prima, sampai akhirnya alat itu menjadi penghambat terbesar kita di garis finis.
Cerita yang sama juga sering terjadi di ruang sekretariat organisasi. Bagi kamu para pengurus Hima atau panitia event kampus, pasti paham betapa hectic-nya suasana menjelang hari H. Proposal harus dicetak rangkap banyak untuk sponsor, surat izin harus masuk ke rektorat, dan rundown harus dipegang semua panitia.
Sering kali, kita memaksakan diri menggunakan printer inventaris yang sudah “sekarat”. Hasilnya? Anggota divisi sekretariatan stres, mata merah kurang tidur hanya demi menunggu printer yang jalannya lambat.
Di sinilah kita perlu mengubah pola pikir. Menjadi mahasiswi cerdas di era ini berarti tahu cara bekerja efisien (work smarter). Untuk kebutuhan volume tinggi dan krusial seperti di organisasi, memaksakan beli printer murah sering kali bukan solusi, malah menambah beban perawatan.
Mungkin sudah saatnya himpunan atau kepanitiaanmu mempertimbangkan opsi sewa printer.
Kenapa ini saya sebut solusi yang humanis? Karena dengan menyewa, kita memindahkan risiko teknis kepada ahlinya. Tidak perlu lagi ada drama saling menyalahkan antar pengurus karena printer rusak. Tidak perlu lagi ada mahasiswi yang harus kotor tangannya mengutak-atik tinta bocor saat harusnya dia fokus mematangkan konsep acara. Ini adalah cara kita menjaga mood dan energi tim agar tetap positif. Kita membayar untuk ketenangan pikiran, dan itu sangat berharga.
Namun, saya juga tahu, banyak dari kalian adalah perempuan-perempuan tangguh yang berjiwa entrepreneur. Kalian melihat masalah sebagai peluang. Melihat teman-teman kosan yang kesulitan mencetak tugas tengah malam, naluri bisnismu jalan. “Kenapa nggak aku buka jasa cetak aja di kosan?”
Ide brilian! Itu bisa jadi tambahan uang saku yang lumayan banget buat self-reward akhir bulan. Tapi, belajar dari pengalaman senior, jangan memulai perang tanpa senjata yang tepat.
Banyak mahasiswi yang bisnis kecilnya gulung tikar karena salah beli alat. Tergiur harga murah, tapi ternyata biaya tintanya selangit. Di sinilah pentingnya riset. Jangan asal beli di toko elektronik biasa yang pegawainya bahkan bingung bedanya inkjet dan laser.
Carilah distributor printer yang kredibel. Distributor yang baik itu seperti mentor. Mereka akan bertanya dulu: “Kamu butuhnya buat cetak foto atau teks? Sehari kira-kira berapa lembar?” Mereka akan mengarahkanmu ke mesin yang bandel dan efisien, bukan yang paling mahal. Dengan dukungan distributor yang tepat, usaha kecilmu bisa berjalan lancar tanpa drama teknis, sehingga kamu tetap bisa fokus kuliah tanpa diganggu komplain pelanggan.
Teman-teman, masa kuliah adalah masa transisi yang indah sekaligus berat. Jangan biarkan hal-hal teknis kecil merusak hari-harimu yang berharga.
Jika kamu lelah, istirahatlah. Jika ada cara yang lebih mudah untuk menyelesaikan pekerjaan, ambillah. Entah itu dengan menyewa alat untuk mengurangi beban organisasi, atau memilih distributor terbaik untuk mendukung usaha mandirimu.
Ingat, skripsi yang bagus adalah skripsi yang selesai, tapi mahasiswi yang hebat adalah mahasiswi yang bahagia dan sehat mentalnya. Jangan biarkan drama kertas dan tinta merenggut senyummu hari ini.
Tetap semangat, Girls! Kita pasti bisa melewati ini semua.
Tenaga Kesehatan Apoteker di Rumah Sakit Umum Daerah Andi Sultan Daeng Radja. Founder of Apotek Annisa Official & Media Mahasiswi Indonesia.